Jakarta, bisnissumsel –
China kini diterpa lonjakan kasus penyakit pernapasan pneumonia ‘misterius’ yang marak menyerang anak-anak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mendesak China untuk bersikap terbuka dalam memberikan informasi rinci terkait penyakit ini.
Lonjakan infeksi ini diperkirakan akan terjadi di China pada musim dingin. Namun yang kemudian memicu kekhawatiran ahli epidemiologi, pneumonia ‘misterius’ ini meningkat di China. Ketika pembatasan COVID-19 dilonggarkan di negara-negara lain, influenza dan virus pernapasan syncytial (RSV) dikhawatirkan menjadi penyebab utama lonjakan penyakit.
Menyikapi kasus ini, WHO meminta informasi rinci perihal hasil laboratorium dan data mengenai tren terkini penyebaran penyakit pernafasan kepada Otoritas Kesehatan China. Hal ini menyusul laporan dari media dan Program Pemantauan Penyakit yang Muncul, sebuah sistem publik yang dijalankan oleh Masyarakat Internasional untuk Penyakit Menular. tentang maraknya kasus ‘pneumonia yang tidak terdiagnosis’.Ahli epidemiologi di Universitas Hong Kong, Benjamin Cowling, mengaku tidak kaget dengan peningkatan kasus penyakit ini.
“Ini adalah ‘lonjakan musim dingin’ yang biasa terjadi pada infeksi saluran pernapasan akut. Hal ini terjadi pada awal tahun ini, mungkin karena meningkatnya kerentanan masyarakat terhadap infeksi saluran pernapasan akibat tindakan COVID selama tiga tahun,” ungkapnya dikutip dari Nature, Selasa (28/11/2023).
Dalam pernyataan pada tanggal 23 November, WHO mengatakan bahwa otoritas kesehatan China mengaitkan peningkatan jumlah pasien rawat inap sejak Oktober 2023 dengan patogen yang diketahui, seperti adenovirus, virus influenza, dan RSV. Disebutkannya, patogen ini cenderung menyebabkan gejala ringan seperti pilek.
Namun WHO menyoroti, terjadi peningkatan jumlah anak yang dirawat di rumah sakit sejak bulan Mei, khususnya di kota-kota utara seperti Beijing. Umumnya, penyakit ini disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae, sebuah bakteri yang menginfeksi paru-paru.
Muncul spekulasi, peningkatan penyakit pernapasan di China ini tidak terlepas dari langkah pembatasan amat ketat yang diterapkan di negara tersebut, berkenaan dengan upaya penanganan COVID-19. Saking ketatnya pembatasan saat itu, masyarakat di sana tidak memiliki kekebalan yang kuat terhadap mikroorganisme.
“Karena China mengalami lockdown yang jauh lebih lama dan lebih keras dibandingkan negara lain mana pun di dunia, maka gelombang ‘lockdown exit’ tersebut diperkirakan akan menjadi besar di Tiongkok,” tutur ahli biologi komputasi di Universitas College London, Francois Balloux.
(vyp/vyp/detik)
